suplier cardigan candies

Selasa, 20 Desember 2011

Potensi Teh Putih sebagai Minuman Fungisonal Bagi Penyandang Obesitas

             Obesitas merupakan salah satu penyakit degeneratif. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan peningkatan angka kesakitan dan kematian (McPhee et al. 1995; Sherwood 2007). Obesitas merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh berlebihan. Saat ini obesitas telah menjadi epidemi, bahkan sejak manusia masih balita. Hal ini merupakan suatu masalah, karena berat badan berlebihan berarti menyimpan berbagai kemungkinan komplikasi penyakit. Penyebab obesitas beragam, diantaranya faktor genetik dan lingkungan. Perubahan pola makan yang bergeser ke arah makanan tinggi kalori dan perubahan pola hidup akibat modernisasi sehingga kurang peduli terhadap kesehatan. Aktivitas masyarakat saat ini cenderung serba instan, aktivitas fisik dan olahraga berkurang dan hal inilah yang dituding sebagai penyebab utama terjadinya obesitas yang semakin meningkat (Joko 2007).
Saat ini obesitas masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, walaupun obatnya telah ditemukan dalam waktu lama. Gaya hidup modern ini telah membuat penyakit obesitas menjadi masalah besar bagi Indonesia. Saat ini tidak kurang dari 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih (overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta diantaranya mengalami obesitas. Pada tahun 2015, diperkirakan 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta di antaranya obesitas. Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia lebih  15 tahun adalah 10,3% (laki-laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sedangkan prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%. Angka ini hampir sama dengan estimasi World Healthy Organization sebesar 10% obesitas terjadi pada anak usia 5-17 tahun.
Obesitas adalah salah satu penyakit yang bisa menimbulkan komplikasi jika dibiarkan atau tidak dilakukan terapi pengobatan. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pada pasien di atas 16 tahun dan non-smokers dengan jelas memperlihatkan bahwa baik pria dan wanita yang lebih obes pada awal penelitian (dengan pemeriksaan-IMT), memiliki risiko lebih tinggi menderita penyakit ganas seperti kanker. Peningkatan risiko kanker seperti kanker ginjal dan uterus pada wanita dan kanker hati pada pria sangatlah mengejutkan. Hasil dari sebuah penelitian lain menyatakan bahwa obesitas adalah penyebab ke-2 kanker setelah merokok. Hasil dari penelitian ini dipresentasikan oleh Teh American Institute for Cancer Research and teh World Cancer Research Fund International, dengan tema: Food, Nutrition, Physical Activity, and teh Prevention of Cancer: A Global Perspective menyebutkan bahwa angka kejadian obesitas makin meningkat dan merokok berkurang sehingga diperkirakan bahwa obesitas satu dekade berikutnya akan menjadi faktor risiko pertama terjadinya kanker di dunia (Depkes 2009).
Permasalahan obesitas secara global ini belum terselesaikan secara tuntas dan optimal. Berbagai upaya pencegahan, pengobatan dan terapi telah banyak dilakukan untuk mengurangi obesitas yang semakin mengalami peningkatan di seluruh dunia. Namun, semua upaya tersebut dirasa belum optimal dan masih kurang cocok diaplikasikan. Alternatif baru yang sedang terus diteliti dan dikembangkan adalah pengobatan menggunakan tanaman herbal atau tanaman obat. Pemanfaatan tanaman obat dianggap sebagai media pengobatan alternatif yang lebih mudah dan murah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tingginya biaya pengobatan modern  dan nilai manfaat yang tinggi serta efek samping yang relatif kecil dari tanaman obat juga menjadi faktor yang turut mendorong berkembangnya minuman fungsional atau minuman herbal di masyarakat. Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa tanaman obat aman dan berkhasiat untuk mencegah dan menyembuhkan berbagai macam penyakit. Menurut Heyne (1987), diantara tanaman yang dapat digunakan masyarakat untuk mencegah dan mengatasi gangguan kesehatan, yaitu salah satunya teh. Teh adalah minuman yang berasal dari ekstrak daun teh (Camellia sinensis) yang mampu menstimulus saraf dan memberikan efek menyegarkan. Menurut Hartoyo (2003), teh selain sebagai minuman yang menyegarkan juga telah lama diyakini memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh. Khasiat terhadap kesehatan ini disebabkan oleh adanya kandungan zat-zat kimia dalam teh yang bersifat fungsional bagi tubuh. 
Bahan-bahan kimia dalam daun teh menurut Bambang (1996) dapat digolongkan menjadi empat kelompok besar, yaitu substansi fenol, substansi non fenol, substansi aromatik, dan enzim. Substansi fenol terdiri atas katekin dan flavonoid; komponen non fenol terdiri atas karbohidrat, pectin, klorophil, resin, vitamin.; serta enzim terdiri atas enzim intervase, amylase, beta-glukosidase, protease, dan peroksidasenya. Menurut Bambang (1996) katekin atau yang dikenal dengan nama tannin merupakan senyawa yang penting pada daun teh. Katekin teh merupakan flavonoid yang termasuk dalam kelas flavanol. Jumlah atau kandungan katekin bervariasi untuk masing-masing jenis teh. Adapun katekin teh yang utama adalah epicatechin, epicatechin gallat, epigallocatechin, dan epigallocatechin. Katekin mempunyai sifat tidak berwarna, larut air, serta membawa  sifat pahit dan sepat pada seduhan teh. Semua sifat produk teh sangat erat hubungannya dengan modifikasi pada katekin ini.
Beberapa jenis teh memang umumnya dari daun Camelia sinensis. Berdasarkan sifat fermentasinya dibedakan menjadi empat macam teh yaitu teh hitam, teh olong, teh hijau, dan teh putih. Menurut para ahli semua jenis teh mengandung senyawa yang bermanfaat folifenol, tehofilin atau methixantin, tannin, vitamin B komplek C, E, dan K serta sejumlah mineral seperti zink (Zn), selenium (Se), Mangan (Mn), dan magnesium (Mg) (Naland 2008). Roderick H. Dashwood, Ph.D., seorang ahli Biochemist di University’s Linus Pauling Institute menjelaskan bahwa banyak potensi dari polifenol (katekin), dan teh putih mempunyai kandungan polifenol sama besar bahkan lebih tinggi daripada teh hijau dan teh jenis lain (Suharto 2009 ). Dilihat dari senyawa aktif yang terkandung didalamnya,  teh putih merupakan salah satu jenis teh yang berkhasiat mencegah kegemukan atau epidemi obesitas.
Dari hasil riset diketahui bahwa  ekstrak teh putih dapat mencegah jaringan lemak berkembang sehingga menghambat potensi kegemukan dan membantu membakar lemak. Hal tersebut disebabkan ektrak teh mampu menaikkan metabolisme dan membuat tubuh menjadi langsing. Penelitian lain  membuktikan, khasiat teh putih lebih baik dibandingkan dengan teh  jenis lain karena mampu mengaktifkan sel manusia yang bertanggung jawab terhadap kegemukan atau overweight. Kemungkinan efek anti obesitas dari teh putih (white tea) telah didemonstrasikan dalam beberapa eksperimen dalam sel-sel lemak manusia (adiposit). Peneliti telah menunjukkan bahwa ekstrak herbal teh putih secara efektif memacu generasi dari adiposit baru dan menstimulasi mobilisasi lemak dari sel-sel lemak matang . Ekstrak teh putih adalah sumber alami yang secara efektif menghambat adipogenesis dan merangsang lipolysis-aktivitas. Oleh karena itu, dapat dimanfaatkan untuk memodulasi tingkat yang berbeda dari siklus hidup adipocyte. Zat aktif utama yang berperan disini adalah epigallocatechin-3-gallate (EGCG) (gambar 1) dan juga methylxanthines (seperti kafein). Bahan ini diketahui mengerahkan efek biologis pada adipocytes.



Gambar 1. Struktur kimia Epigallocatechin gallate (EGCG) (Suharto 2009)

Epigallocatechin gallate (EGCG) merupakan antioksidan dalam teh putih terutama dari keluarga catechin, dan termasuk epicatechin, epicatechin gallate, dan epigallocatechin. Namun, antioksidan yang paling penting dan utama dalam teh putih disebut EGCG, yang merupakan kependekan dari epigallocatechin gallate. Itu membuat hingga hampir 50 persen dari konten antioksidan. Dalam percobaan laboratorium, EGCG adalah diukur hingga 100 kali lebih aktif daripada vitamin A dan C. Secangkir teh putih umumnya dianggap mengandung lebih banyak antioksidan daripada satu porsi brokoli, bayam, stroberi,dan lain sayuran dan buah-buahan sehat. Manfaat kesehatan dari teh putih disebabkan oleh potensi EGCG (Suharto 2009)
                                                                                                                                     





  (i)                                                   (ii) 
                                          
Gambar.2. (i) Teh putih dari Fuding di Fujian, yang dianggap sebagai teh putih   kelas  terbaik (ii) tanaman teh (Camellia sinensis) (Adiwilaga 2005)
Proses pembuatan teh putih

Teh putih merupakan jenis teh terbaik karena untuk mendapatkannya hanya diambil dari satu pucuk daun teh paling muda dan tinggi yang masih dipenuhi bulu. Pada pengolahannya teh putih tidak mengalami proses fermentasi karena hanya diuapkan dan dikeringkan sehingga memiliki kandungan antioksidan tinggi. Teh putih dilayukan dan dikeringkan dengan cepat, sehingga daunnya lebih terlihat segar. Teh ini dipanaskan dengan api hingga daunnya menggulung. Oolong dan teh hitam mendapatkan warna hitam dari adanya proses tambahan yaitu fermentasi. Daun teh putih setelah dikeringkan tidak berwarna hijau tapi berwarna putih keperakan dan bila diseduh berwarna lebih pucat dengan aroma lembut dan segar. Jadi, perbedaan dengan teh lain terletak dengan perlakuan selama proses pengolahan dimana pada teh jenis lain menggunakan pemanasan sinar matahari dan fermentasi sedangkan pada teh putih tanpa melalui kedua hal tersebut.
Dalam prosesnya, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatannya adalah pemilhan bahan baku yang berkualitas, kemudian pelayuan cepat, pengeringan, dan langsung pengemasan. Sortasi bahan baku merupakan tahap awal yang perlu dilakukan untuk memperoleh pucuk teh yang berkualitas,  kriteria untuk teh yang bisa dijadikan teh putih adalah pucuk yang masih muda, tinggi, dan masih ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna putih. Metode berikutnya adalah pengeringan. Teh yang sudah disortir kemudian dilakukan pelayuan dan pengeringan. Keduanya dilakukan secara cepat, agar diperoleh daun teh yang tetap segar. Pemanasan dilakukan dengan menggunakan api baik dengan alat ataupun bisa manual, pemanasan dihentikan sampai daunnya menggulung. Kemudian proses selanjutnya adalah pengemasan. Tujuan pengemasan untuk menjaga kualitas dari teh putih yang telah diproses, seperti terlihat pada gambar 1. Upaya untuk membuat produk teh putih herbal  yang lebih praktis dapat dilakukan dengan membuatnya menjadi produk celup sebagaimana yang ada di pasaran saat ini.

Aplikasi teh putih untuk fitoterapi epidemi obesitas

            Fitoterapi atau terapi menggunakan tumbuhan, merupakan metode yang paling digemari saat ini. Terapi ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia dari dulu kala namun baru popular lagi akahir-akhir ini. Hal ini disebabkan oleh gaya hidup masyarakat modern seperti sekarang ini yang menghendaki kepraktisan dan pola hidup serba cepat ata instan. Mengingat dengan segala potensi teh putih, rasanya sangat cocok untuk diaplikasikan untuk fitoterapi penanggulangan epidemic obesitas. Caranya, teh putih dapat dikonsumsi setiap hari dengan teratur. Teh ini bisa digunakan untuk terapi penyembuhan dan bisa juga untuk penjegahan. Jumlah takaran saji yang dianjurkan sama dengan teh pada umumnya, yakni sekitar 50-100 mg/sajian. Teh putih dapat dikonsumsi 3-4 kali sehari tergantung dengan tujuannya apakah untuk fitoterapi atau untuk pencegahan atau program diet. Teh ini dapat langsung diseduh dengan air panas, tanpa merebusnya terlebih dahulu.
            Keunggulan teh putih selain untuk mencegah dan mengobati penyakit epidemic obesitas adalah efisiensi produk yang mudah dan praktis serta kepopuleran segala jenis minuman berbasis teh di masyarakat luas. Selain itu, melihat prospek bahwa teh putih sangat terkenal di seluruh dunia, tentu hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia pada umumnya yang notabene adalah salah satu pemasok besar teh di dunia, dan secara khusus juga menambah manfaat  atau edit value dari teh tersebut sehingga akan berdampak sistemik di berbagai bidang terutama penerapan teknologi tepat guna.

Dampak sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan

            Adanya peningkatan nilai tambah dari bahan yang belum termanfaatkan optimal, menyebabkan akan diperoleh banyak keuntungan jika teh putih nantinya benar-benar diproduksi di Indonesia. Sejauh ini produksi teh putih baru diterapkan beberapa negara di dunia salah satunya yang sudah berhasil adalah China. Apabila menilik potensi yang dimiliki, rasanya Indonesia juga sangat cocok untuk produksi teh herbal ini, terutama terkait kondisi geografis yang menguntungkan untuk berbagai aplikasi agroindustri. Pengaplikasian bisa dimulai dari industri kecil, kemudian bisa menengah baru jika sukses dapat diterapkan di industri besar. Ditambah lagi dengan maraknya industry minuman teh saat ini sehingga berdampak pada komparasi kualitas produk secara terus-menerus. Hal ini adalah sinyal positif bagi kemajuan agroindustri di Indonesia.
            Selain itu, mengingat trend minum teh dan gaya hidup sehat pada konsep “back to nature” membuat produk olahan modifikasi teh lebih nyaman dan menguntungkan untuk dikonsumsi karena selain menyegarkan, praktis, juga sifat fungsionalnya yang sangat berguna bagi kesehatan. Dengan kata lain, aplikasi pembuatan teh putih dapat menerapkan prinsip co-management yakni suatu prinsip yang menekankan kerja sama dalam upaya pengembangannya, baik dari institusi,  UKM serta utamanya para industri minuman teh.

Jumat, 16 Desember 2011

MOCAF-Potensi Pangan Lokal Pengganti Terigu


Salah satu jenis pangan lokal yang berpotensi sebagai pengganti tepung terigu adalah MOCAF. MOCAF yang juga dikenal dengan istilah MOCAL merupakan produk tepung singkong (Manihot esculenta Cratz) yang diproses menggunakan prinsip sel singkong secara fermentasi, dimana mikroba BAL (Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini. Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-asam organik, terutama asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Demikian pula cita rasa MOCAF menjadi netral karena menutupi rasa singkong sampai 70% (Subagio et al. 2008).
            Secara teknik, cara pengolahan MOCAF sangat sederhana, mirip dengan cara pengolahan tepung singkong biasa namun disertai proses fermentasi. Menurut Subagio et al. (2008), komposisi kimia MOCAF tidak jauh berbeda dengan tepung singkong, tetapi MOCAF mempunyai karakteristik organoleptik yang spesifik. Komposisi kimia dan karakteristik organoleptik antara MOCAF dan tepung singkong dapat dilihat Tabel 4 dan 5. Secara organoleptik warna MOCAF yang dihasilkan lebih putih dibandingkan dengan warna tepung singkong biasa. Hal ini disebabkan karena kandungan protein MOCAF yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung singkong. Kandungan protein dapat menyebabkan warna kecoklatan ketika pengeringan atau pemanasan.
Tabel 4 Perbedaan komposisi kimia MOCAF dengan tepung singkong
Parameter
MOCAF
Tepung Singkong
Kadar Air (%)
Max.13
Max.13
Kadar Protein (%)
Max.1.0
Max 1.2
Kadar Abu (%)
Max. 0.2
Max. 0.2
Kadar pati (%)
85-87
82-87
Kadar serat (%)
1.9-3.4
1.0-4.2
Kadar lemak (%)
0.4-0.8
0.4-0.8
Kadar HCN (mg/kg)
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Sumber: Subagio et al. (2008)

Tabel 5 Perbedaan sifat organoleptik MOCAF dengan tepung singkong
Parameter
MOCAF
Tepung Singkong
Warna
Putih
Putih agak kecoklatan
Aroma
Netral
Kesan singkong
Rasa
Netral
Kesan singkong
Sumber: Subagio et al. (2008)

MOCAF menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang dapat menutupi aroma dan citarasa singkong yang cenderung tidak menyenangkan konsumen apabila bahan tersebut diolah. Hal ini disebabkan oleh hidrolisis granula pati menghasilkan monosaarida sebagai bahan baku penghasil asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan. Hal ini membuat aroma dan rasa MOCAF menjadi netral.
MOCAF dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis makanan mulai dari mi, bakery, cookies hingga makanan semi basah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Demeiate et al. (1999) menunjukkan bahwa fermentasi ubi kayu dapat menghasilkan tepung yang digunakan untuk membuat roti dan biskuit bebas gluten. Namun demikian, MOCAF tidak sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu, tepung beras, atau tepung lainnya. Sehingga dalam aplikasinya, diperlukan sedikit perubahan dalam formula atau prosesnya sehingga akan dihasilkan produk dengan mutu optimal. Berdasarkan penelitian sebelumnya, produk-produk makanan yang dibuat dengan bahan baku 100% MOCAF mempunyai karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan produk yang dibuat dengan menggunakan tepung terigu protein rendah (pastry flour). Selain itu, hasil uji coba yang telah dilakukan dengan substitusi MOCAF terhadap tepung terigu menunjukkan bahwa MOCAF dapat mensubstitusi tepung terigu hingga tingkat 15% pada produk mi instan, dan hingga 25% untuk mi mutu rendah (Subagio et al .2008).


Pangan Darurat


Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) adalah pangan yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan energi harian manusia  (2100 kkal berasal dari makronutrien) dalam kondisi darurat seperti seperti banjir, gempa bumi, longsor atau perang serta kelaparan (IOM 1995). Tujuan dari EFP adalah mengurangi kematian para korban bencana alam dengan menyediakan makanan yang mengandung nutrisi lengkap untuk memenuhi asupan gizi harian korban bencana. Ada dua jenis EFP, jenis EFP pertama merupakan pangan darurat yang dirancang untuk kondisi dimana para korban bencana dapat memasak atau mempersiapkan makanan. Jenis EFP yang kedua adalah pangan darurat yang didesain untuk kondisi dimana akses terhadap air dan api terbatas sehingga para korban bencana tidak dapat memasak makanan.
Menurut Zoumas et al. (2002),  karakteristik yang menjadi prioritas dalam pengembangan produk pangan darurat, yaitu 1) aman, 2) memiliki palabilitas yang baik, 3) mudah didistribusikan, 4) mudah dikonsumsi, 5) memiliki kalori yang tinggi. Regulasi persyaratan pangan darurat di Indonesia belum ditetapkan. US Agency for International Development (2001), memberikan spesifikasi untuk pangan darurat, yaitu:
a.  Dapat dikonsumsi dalam keadaan bergerak tanpa melakukan preparasi atau proses memasak.
b.  Memenuhi kebutuhan gizi untuk populasi dengan umur diatas 6 bulan dengan acuan pemenuhan kebutuhan 2100 kkal/ hari.
c.  Dapat diterima oleh semua etnik dan semua agama, serta tidak menggunakan bahan yang dapat menimbulkan alergi pada orang tertentu.
d.  Dapat dijatuhkan dari udara tanpa merusak produk dan tidak dapat mencelakakan orang yang ada dibawah.
e.  Mempunyai nilai gizi makro dan mikro.
f.   Memiliki kestabilan dalam organoleptik, palatibilitas, konsistensi mutu dan nilai gizi.
Menurut Zoumas et al. (2002), ada beberapa asumsi yang digunakan dalam mengembangkan komposisi gizi pangan darurat yaitu:
a.   Penyediaan air minum merupakan prioritas utama dan konsumsi pangan darurat bersama dengan air.
b.  Pengkonsumsian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Tidak digunakan sebagai produk terapi dan sangat tidak tepat untuk penderita malnutrisi yang parah.
c.  Produk dapat dikonsumsi oleh semua kategori usia, kecuali bayi kurang dari 6 bulan, dan produk tidak digunakan sebagai bahan pengganti ASI.
d.  Produk ini merupakan sumber energi utama bagi korban bencana selama 15 hari.
e.  Kebutuhan nutrisi bagi wanita hamil dan menyusui tidak dimasukkan dalam perhitungan pembuatan EFP, namun diasumsikan mereka mengkonsumsi lebih dari kebutuhan energi per hari (2100 kkal).
Jumlah energi yang dianjurkan terkandung dalam pangan darurat adalah sebesar 2100 kkal per hari. Nilai ini berdasarkan rata-rata kebutuhan energi harian atau estimated the mean per capita energy requirements (EMPCER) individu di negara berkembang dengan aktivitas fisik yang cukup tinggi adalah sebesar 2100 kkal. Pemenuhan kebutuhan energi produk pangan darurat berasal dari tigan makronutrien, yaitu protein, lemak, dan karbohidrat. Menurut Zoumas et al. (2002), range sumbangan kalori dalam pangan darurat yang berasal dari protein sebesar 10-15%, dari lemak 35-45%, dan dari karbohidrat 40-50%. EFP harus memenuhi kebutuhan energi sebesar 2100 kkal per hari dengan kandungan protein sebesar 7.9 – 8.9 gram per bar, lemak 9.1-11.7 gram per bar dan karbohidrat 23-35 gram per bar (1 bar= 50 gram produk kering). Menurut IOM (1995), EFP harus memiliki kandungan nutrisi sesuai dengan standar yang ada pada Tabel 1.
Tabel 1 kandungan nutrisi dari Emergency Food Product (EFP)
Nutrisi
Rentang usia
Jumlah minimum densitas nutrisi per 1000 kkal a
Jumlah per bar
(233 kkal; 50 gram)
Lemak
-
-
9-12 gr
Protein b
-
-
7,9 gr
Karbohidrat
-
-
23-35 gr
Natrium c
2-5 tahun, anak-anak
1,3 gr
300 mg
Kalium c
2-5 tahun, anak-anak
1,7 gr
396 mg
Klor
2-5 tahun, anak-anak
2,0 gr
466 mg
Kalsium
9-13 tahun, anak-anak
768 mg
180 mg
Fosfor
9-13 tahun, anak-anak
740 mg
172 mg
Magnesium
14-18 tahun, anak-anak
190 mg
45 mg




Kromium
-
13 µg d
3 µg
Tembaga
51 tahun, perempuan
560 µg d
131 µg
Iodin
1-3 tahun, anak-anak
105 µg
25 µg
Besi e
19-50 tahun, perempuan
16 mg d
3,8 mg
Mangan
1-3 tahun, anak-anak
1,4 mg
0.33 mg
Selenium
14-18 tahun, perempuan
28 µg
6,5 µg
Seng
14-18 tahun, laki-laki
10,5 mg d
2,4 mg
Vitamin A
14-18 tahun, laki-laki
500 µg d
117 µg d
Vitamin D
51-70 tahun, perempuan
5,2 µg d
1,2 µg
Vitamin E
14-18 tahun, perempuan
16 mg d
2,2 mg
Vitamin K
19-50 tahun, perempuan
60 µg
14 µg
Vitamin C
51 tahun, laki-laki
100 mg d
11,1 mg
Thiamin
1-3 tahun, anak-anak
12 mg d
0,28 mg
Riboflavin
14-18 tahun, laki-laki
1,2 mg d
0,28 mg
Niasin
14-18 tahun, laki-laki
11,2 mg d
2,6 mg
Vitamin B6
51 tahun keatas
1,2 mg d
0,28 mg
Folat
14-18 tahun, perempuan
310 µg d
72 µg
Vitamin B12
14-18 tahun, perempuan
12 mg d
2,8 mg
As Pantotenat
14-18 tahun, perempuan
3,9 mg d
0,9 mg
Biotin
51 tahun keatas, perempuan
24 µg d
5,6 µg
Kolin
51 tahun keatas, laki-laki
366 mg d
85 mg
Keterangan:
a Rasio yang dibuat pada jumlah energi 2100 kkal/hari (IOM 1995)
b Berdasarkan berat yang dibuat IOM (1997)
c Nilai yang berdasar desirable intakes (NRC 1989).
d Diadopsi dari nilai densitas nutrisi
e Berdasarkan 10% bioavailabilitas dari besi
f jika folat disedaiakan secara sintesis dimana bersifat lebih mudah untuk diserap.
Sumber: IOM (1997, 1998, 2000, 2001)